by
: Dyani T. Wardhyni on Sunday, July
17, 2011 at 5:39pm
01 Agustus 2011.
Malam ini begitu dingin. Tubuhku tak kuat lagi untuk berpikir. Hhmm, setidaknya
aku butuh beberapa menit untuk mengerti dan tersadar. Aku tidak sedang tersesat
dan aku tidak sedang menghindar atau pergi dari siapapun. Aku hapal benar
tempat aku sedang terduduk malam ini. Lalu lalang orang yang datang dan pergi.
Bebatuan yang terhampar dengan besi baja diatasnya. Suara gemuruh memekakan telinga.
Peringatan dan palang pintu yang otomatis tertutup dan terbuka jika kereta api
akan lewat. Ya, aku berada di Stasiun Kranji. Lalu, bagaimana aku bisa bertanya
pada diri sendiri, “Sedang berada di mana
aku ini?”
Hhmm… Bukanlah tempat aku berada saat ini yang aku pikirkan. Tetapi untuk apa
aku lakukan semua ini? Sungguh aku gila dibuatnya. Sore di hari pertama UmatMu
berpuasa, tiba-tiba telepon genggamku berbunyi. Ada pesan singkat yang masuk di
sana.
“Mbak Dyan, ini Vivi…Mlm ini bisa ga mba nginep di rs
persahabatan.. Mamaku abis di operasi..Msh di ICU.. Temenin aku. Aku
sendirian..”
Aku terdiam.
Entahlah saat berdoa usai sholat, aku sempat teringat tentang dia sahabatku,
mama, papa dan adik-adiknya. Aku rindu dan selalu aku selipkan doa untuk
mereka. Aku melipat mukena dengan pikiran kosong. Ada tanya di hati ini. Kenapa
aku tidak mengetahui bahwa Mama sahabatku akan di operasi pagi ini? Jujur aku
tidak melupakan atau menghindarinya. Aku hanya ingin sahabatku dan aku
mempunyai hidup masing-masing. Mungkin benar adanya, dia merasa terganggu jika
aku menjadi bagian dari hidupnya, bagian dari keluarganya.
Malam di mana Vivi
adik sahabatku sms, aku langsung bersiap menuju Rumah Sakit. Sepanjang
perjalanan banyak hal yang aku pikirkan. Tapi ketahuilah ada sayang yang begitu
besar yang aku miliki untuk dia sahabatku dan keluarganya. Karena biar
bagaimanapun, mereka telah memberikan tawa dan senyumnya untukku. Banyak hal
yang dapat aku pelajari dari mereka sekeluarga.
Bagaimana caranya
bertanggung jawab dari seorang anak lelaki pertama yang tidak aku temukan dari
kakakku. Tentang bagaimana menghadapi kesabaran, letih dan hanya doa yang bisa
menguatkan.
Setibanya di Rumah
Sakit aku menunggu Vivi di balkon. Kami sempat berbincang sesaat, lalu menuju
ruang tunggu ICU. Banyak orang di sana dengan keresahannya masing-masing.
Lantunan ayat suci memenuhi tiap sudut ruangan. Tetesan air mata, desah napas
dan sebuah keluhan kecil terhadap Tuhan dan sesama penunggu pasien.
Sesekali pintu ICU
terbuka, hati ini berdebar. Mungkin bukan hanya aku saja yang merasakan. Aku
bukan siapa-siapa atau bagian dari keluarga. Tapi rasanya hati ini takut. Aku
takut melihat air mata jatuh, aku takut melihat kepiluan hati.
Pukul 23.30 aku,
Vivi dan beberapa keluarga dari pasien lain bersiap-siap untuk tidur. Tetapi
jeritan membuat kami terjaga. Salah seorang pasien ruang ICU meninggal malam
itu. Tangis memecah kesunyian lorong tunggu ruang ICU. Aku tidak bisa menutup
kegundahan hati ini. Tanya pun keluar dari mulut. Mengapa bisa terjadi?
Seseorang
bercerita, bahwa yang meninggal adalah seorang wanita muda. Wanita itu
meninggal setelah melahirkan melalui operasi caesar sebelas hari yang lalu. Luka jahitannya terkena infeksi yang
mengakibatkan perut membuncit dan panas tinggi. Kecurigaan keluarga membawanya
ke Rumah Sakit, sampai akhirnya tergeletak di ruang ICU.
Alloh SWT mempunyai
cara tersendiri untuk membuat hambaNya bahagia. Dan caranya Ia tunjukkan kepada
kami hambaNya yang sehat. Bahwa dunia hanyalah sebuah titipan, bahwa anak
merupakan anugrah. Hidup wanita itupun berakhir dengan meninggalkan anak
keduanya dan menyusul anak pertamanya yang lebih dahulu meninggal saat berusia
1,5 tahun. Bergetar hati ini. Surgalah yang wanita itu dapat. Insya Alloh pesanMu telah sampai.
Malam itu aku tidak
bisa terpejam. Suara mesin detak jantung membuatku gelisah. Ruang itu kedap
suara. Tapi bunyi detak mesin masih terdengar jelas sampai ruang tunggu ICU.
Bunyi detak itu mengingatkan kita bahwa Alloh Yang Maha Esa. Jika Alloh
menginginkan mesin itu berhenti. Maka sampai disitulah hidupnya. Tak kuasa aku
membayangkan.
Pukul 03.30 aku dan
Vivi menuju kantin Rumah Sakit untuk membeli makan sahur. Pagi itu begitu
dingin dan sunyi. Aku melihat di lorong-lorong Rumah Sakit satu, dua orang
tertidur di sana. Tanpa alas, tanpa selimut, udara terbuka, nyamuk, bahkan
virus dan bakteri yang tak kasat mata yang cukup menemaninya. Mereka begitu
gigih melawan malam. Aku merasakan ada hangat di hati mereka. Aku merasakan
mereka melakukan itu untuk membuat tenang, bahwa yang sakit tidaklah sendiri,
mereka tetap ditemani, meskipun tidak berada di sebelahnya. Aku kembali
tersentuh. Alloh, pesanMu telah sampai.
Matahari sudah naik
ke permukaan. Saat menebus obat dan mengurus keperluan administrasi aku melihat
beberapa pemandangan yang kembali membuat aku tersentuh dan bergetar. Lagi-lagi
di lorong Rumah Sakit banyak yang lalu lalang tanpa henti. Duduk pasrah di
kursi roda dengan tubuh kurus terlihat hanya terbalut kulit, ada seorang wanita
cantik tetapi berjalan hanya dengan satu kaki, bahkan ada yang terbujur kaku
dan diiringi tangis sanak saudara. Aku tidak bisa bernapas sesaat. Sesak
menyelimuti dada. PesanMu telah sampai,
bahkan aku sudah diberikan kesempurnaan, namun kadang aku lupa untuk bersyukur.
Pukul 11.45,
akhirnya aku bisa masuk ruang ICU bersama Vivi. Ada pemandangan yang hampir
membuatku meneteskan air mata. Bisakah aku menguraikannya? Tidak. Banyak
perjuangan hidup di sana. Setiap menit, setiap detiknya bernapas dengan bantuan
alat. Ada yang bernapas dengan mengeluarkan suara yang membuat bulu kudukku
naik. Aku tidak kuat. Selain itu aku tidak kuat melihat tatapan mama, meskipun
dia bukan mama kandungku. Tetapi ketegaran menjalani hidup telihat jelas diraut
wajahnya. Aku ingin berlari. Berteriak menguacap syukur sekencang-kencangnya.
Sungguh, lagi-lagi aku tidak kuasa. Betapa hebatnya Alloh berikan keistimewaan
untukku. Setiap harinya, hingga detik ini aku bernapas.
Sungguh pesan itu
tersampaikan dengan baik. Alloh SWT memberi pesan kepada hambaNya melalui
cara-cara yang tidak kita ketahui. Melalui orang-orang terdekat yang terkadang
kita tidak pernah tahu, bahwa mereka hadir dalam hidup kita untuk membawa
pesan. Pesan kehidupan. Bahwa hakikatnya manusia bukanlah makhluk sempurna, dia
bisa sakit tanpa diminta, dia bisa jatuh tanpa kita ketahui dan dia bisa
bangkit karena izinNya. Subhanalloh.
Terjawab sudah
tanyaku malam itu di Stasiun Kranji.
“Sedang berada di mana aku ini?”
“Aku sedang menjemput pesanMu. Agar aku dapat selalu bersyukur
dan PesanMu telah sampai dengan baik di hatiku.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar