Selasa, 29 November 2011

PesanMu Telah Sampai

by : Dyani T. Wardhyni on Sunday, July 17, 2011 at 5:39pm

01 Agustus 2011. Malam ini begitu dingin. Tubuhku tak kuat lagi untuk berpikir. Hhmm, setidaknya aku butuh beberapa menit untuk mengerti dan tersadar. Aku tidak sedang tersesat dan aku tidak sedang menghindar atau pergi dari siapapun. Aku hapal benar tempat aku sedang terduduk malam ini. Lalu lalang orang yang datang dan pergi. Bebatuan yang terhampar dengan besi baja diatasnya. Suara gemuruh memekakan telinga. Peringatan dan palang pintu yang otomatis tertutup dan terbuka jika kereta api akan lewat. Ya, aku berada di Stasiun Kranji. Lalu, bagaimana aku bisa bertanya pada diri sendiri, “Sedang berada di mana aku ini?”
            Hhmm… Bukanlah tempat aku berada saat ini yang aku pikirkan. Tetapi untuk apa aku lakukan semua ini? Sungguh aku gila dibuatnya. Sore di hari pertama UmatMu berpuasa, tiba-tiba telepon genggamku berbunyi. Ada pesan singkat yang masuk di sana.
“Mbak Dyan, ini Vivi…Mlm ini bisa ga mba nginep di rs persahabatan.. Mamaku abis di operasi..Msh di ICU.. Temenin aku. Aku sendirian..”
 

Aku terdiam. Entahlah saat berdoa usai sholat, aku sempat teringat tentang dia sahabatku, mama, papa dan adik-adiknya. Aku rindu dan selalu aku selipkan doa untuk mereka. Aku melipat mukena dengan pikiran kosong. Ada tanya di hati ini. Kenapa aku tidak mengetahui bahwa Mama sahabatku akan di operasi pagi ini? Jujur aku tidak melupakan atau menghindarinya. Aku hanya ingin sahabatku dan aku mempunyai hidup masing-masing. Mungkin benar adanya, dia merasa terganggu jika aku menjadi bagian dari hidupnya, bagian dari keluarganya.
Malam di mana Vivi adik sahabatku sms, aku langsung bersiap menuju Rumah Sakit. Sepanjang perjalanan banyak hal yang aku pikirkan. Tapi ketahuilah ada sayang yang begitu besar yang aku miliki untuk dia sahabatku dan keluarganya. Karena biar bagaimanapun, mereka telah memberikan tawa dan senyumnya untukku. Banyak hal yang dapat aku pelajari dari mereka sekeluarga.
Bagaimana caranya bertanggung jawab dari seorang anak lelaki pertama yang tidak aku temukan dari kakakku. Tentang bagaimana menghadapi kesabaran, letih dan hanya doa yang bisa menguatkan.
Setibanya di Rumah Sakit aku menunggu Vivi di balkon. Kami sempat berbincang sesaat, lalu menuju ruang tunggu ICU. Banyak orang di sana dengan keresahannya masing-masing. Lantunan ayat suci memenuhi tiap sudut ruangan. Tetesan air mata, desah napas dan sebuah keluhan kecil terhadap Tuhan dan sesama penunggu pasien.
Sesekali pintu ICU terbuka, hati ini berdebar. Mungkin bukan hanya aku saja yang merasakan. Aku bukan siapa-siapa atau bagian dari keluarga. Tapi rasanya hati ini takut. Aku takut melihat air mata jatuh, aku takut melihat kepiluan hati.
Pukul 23.30 aku, Vivi dan beberapa keluarga dari pasien lain bersiap-siap untuk tidur. Tetapi jeritan membuat kami terjaga. Salah seorang pasien ruang ICU meninggal malam itu. Tangis memecah kesunyian lorong tunggu ruang ICU. Aku tidak bisa menutup kegundahan hati ini. Tanya pun keluar dari mulut. Mengapa bisa terjadi?
Seseorang bercerita, bahwa yang meninggal adalah seorang wanita muda. Wanita itu meninggal setelah melahirkan melalui operasi caesar sebelas hari yang lalu. Luka jahitannya terkena infeksi yang mengakibatkan perut membuncit dan panas tinggi. Kecurigaan keluarga membawanya ke Rumah Sakit, sampai akhirnya tergeletak di ruang ICU.
Alloh SWT mempunyai cara tersendiri untuk membuat hambaNya bahagia. Dan caranya Ia tunjukkan kepada kami hambaNya yang sehat. Bahwa dunia hanyalah sebuah titipan, bahwa anak merupakan anugrah. Hidup wanita itupun berakhir dengan meninggalkan anak keduanya dan menyusul anak pertamanya yang lebih dahulu meninggal saat berusia 1,5 tahun. Bergetar hati ini. Surgalah yang wanita itu dapat. Insya Alloh pesanMu telah sampai.
Malam itu aku tidak bisa terpejam. Suara mesin detak jantung membuatku gelisah. Ruang itu kedap suara. Tapi bunyi detak mesin masih terdengar jelas sampai ruang tunggu ICU. Bunyi detak itu mengingatkan kita bahwa Alloh Yang Maha Esa. Jika Alloh menginginkan mesin itu berhenti. Maka sampai disitulah hidupnya. Tak kuasa aku membayangkan.
Pukul 03.30 aku dan Vivi menuju kantin Rumah Sakit untuk membeli makan sahur. Pagi itu begitu dingin dan sunyi. Aku melihat di lorong-lorong Rumah Sakit satu, dua orang tertidur di sana. Tanpa alas, tanpa selimut, udara terbuka, nyamuk, bahkan virus dan bakteri yang tak kasat mata yang cukup menemaninya. Mereka begitu gigih melawan malam. Aku merasakan ada hangat di hati mereka. Aku merasakan mereka melakukan itu untuk membuat tenang, bahwa yang sakit tidaklah sendiri, mereka tetap ditemani, meskipun tidak berada di sebelahnya. Aku kembali tersentuh. Alloh, pesanMu telah sampai.
Matahari sudah naik ke permukaan. Saat menebus obat dan mengurus keperluan administrasi aku melihat beberapa pemandangan yang kembali membuat aku tersentuh dan bergetar. Lagi-lagi di lorong Rumah Sakit banyak yang lalu lalang tanpa henti. Duduk pasrah di kursi roda dengan tubuh kurus terlihat hanya terbalut kulit, ada seorang wanita cantik tetapi berjalan hanya dengan satu kaki, bahkan ada yang terbujur kaku dan diiringi tangis sanak saudara. Aku tidak bisa bernapas sesaat. Sesak menyelimuti dada. PesanMu telah sampai, bahkan aku sudah diberikan kesempurnaan, namun kadang aku lupa untuk bersyukur.
Pukul 11.45, akhirnya aku bisa masuk ruang ICU bersama Vivi. Ada pemandangan yang hampir membuatku meneteskan air mata. Bisakah aku menguraikannya? Tidak. Banyak perjuangan hidup di sana. Setiap menit, setiap detiknya bernapas dengan bantuan alat. Ada yang bernapas dengan mengeluarkan suara yang membuat bulu kudukku naik. Aku tidak kuat. Selain itu aku tidak kuat melihat tatapan mama, meskipun dia bukan mama kandungku. Tetapi ketegaran menjalani hidup telihat jelas diraut wajahnya. Aku ingin berlari. Berteriak menguacap syukur sekencang-kencangnya. Sungguh, lagi-lagi aku tidak kuasa. Betapa hebatnya Alloh berikan keistimewaan untukku. Setiap harinya, hingga detik ini aku bernapas. 
Sungguh pesan itu tersampaikan dengan baik. Alloh SWT memberi pesan kepada hambaNya melalui cara-cara yang tidak kita ketahui. Melalui orang-orang terdekat yang terkadang kita tidak pernah tahu, bahwa mereka hadir dalam hidup kita untuk membawa pesan. Pesan kehidupan. Bahwa hakikatnya manusia bukanlah makhluk sempurna, dia bisa sakit tanpa diminta, dia bisa jatuh tanpa kita ketahui dan dia bisa bangkit karena izinNya. Subhanalloh.
Terjawab sudah tanyaku malam itu di Stasiun Kranji.
“Sedang berada di mana aku ini?”
“Aku sedang menjemput pesanMu. Agar aku dapat selalu bersyukur dan PesanMu telah sampai dengan baik di hatiku.”
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar