Selasa, 29 November 2011

CUPLIKAN CALON NOVEL : JANJI ES KRIM

by Nimas Aksan on Saturday, August 20, 2011 at 9:11am

          Namaku Mia. Mia Aminatiara. Nama yang aneh, seperti berasal dari sebuah desa yang letaknya bahkan tak terdeteksi oleh google-earth. Kalau aku boleh protes, aku ingin namaku diciptakan dengan gaya seni yang lebih komersil. Misalnya, Mia Marshanda Ratu Felisha. Walau terdengar seperti gabungan nama para pemain sinetron, tapi aku jamin, nama itu jauh lebih komersil.
Umurku duapuluh delapan tahun, sebuah usia yang sangat kritis dimana aku harus selalu siap sedia dibantai pertanyaan yang sama oleh segenap sanak keluarga di setiap moment perkumpulan keluarga besar. Kapan married? Mana calonnya?
Mereka tentu tidak tahu, aku orangnya sangat selektif. Tidak semua pria bisa dinyatakan pantas menjadi calon pendampingku. Dengan mudahnya aku bisa saja menemukan seseorang yang begitu tampan, macho, berkarir gemilang, yang kurasa cocok untukku, lalu setelah aku tau dia ternyata...emm, manusia serigala misalnya, aku tak akan segan-segan menendangnya ke dalam kotak tempat sembilan pria lainnya juga kubuang dalam enam tahun terakhir.

Jangan salah, bukan aku yang pilih-pilih, mereka sendiri yang tak pantas dipertahankan. Kenyataannya, aku terus menjomblo, dan selalu bosan dengan pertanyaan yang sama. Kapan married? Mana calonnya?
Sebagai seorang sarjana lulusan sekolah hukum, aku kini bekerja di sebuah biro hukum milik pengacara besar asal Medan bernama Domar Simatupang, SH. Pengacara yang terbiasa menangani kasus perceraian dan pembagian harta gono-gini para selebritis dan pejabat terkenal. Tentu saja, aku adalah salah satu rekanan disini, bukan sekedar asisten pembuat kopi, yang tugasnya menyimpan dan mengantarkan dokumen-dokumen berharga milik klien-klien penting. Yang kadang-kadang para dokumen kurang kerjaan itu bisa saja hilang karena kecerobohan si asisten.
“Mia…! Kalau dalam zepuluh menit lagi dokumen itu belum kau temukan, zaya tak zegan-zegan memecatmu!” teriakan Domar Simatupang, SH dari balik ruangannya, dengan logat bataknya yang kental, memecahkan keheningan kantor yang semula begitu sakral.
Mia? Kenapa dia menyebut nama Mia? Jangan-jangan asistennya yang menghilangkan dokumen itu juga bernama Mia. Pasaran banget sih! Aku harus cepat-cepat ganti nama.....
“Mia! Ngapain bengong di situ? Cepat kamu cari!” Tina, finance officer, satu-satunya yang bisa bersuara setelah teriakan Domar, menjentikkan kuku-kuku berwarna merah menyalanya di belakang punggungku.
Oh Tuhan, Kau pasti bercanda! Kenapa aku ada disini?
Aku baru menyadari, saat ini aku ada dalam posisi seperti sedang bermain kuda-kudaan, dengan kepala dan sebagian tubuh terbenam di bawah meja, sedang mengacak-acak dus-dus berisi sampah-sampah kertas yang terletak di kolong meja.
Menjijikkan…Ini pasti bukan aku! Bukan aku yang sebenarnya!
Aku segera menarik tubuhku keluar. Rambut ikalku awut-awutan, sebagian sampah gulungan kertas menempel di rambutku seperti magnit menempel pada kulkas.
Di depanku, berjajar para staf, rekanan, dan Tina si pengatur keuangan. Mereka menatapku seolah aku ini baru saja terkena virus alien yang kudapat dalam perjalanan singkat ke ruang angkasa.
“Nggak ketemu…” gumamku pasrah, ditujukan pada Eris, rekanan Domar yang terkenal sadis, meski lelaki itu tak kupungkiri memiliki kharisma luar biasa. Percuma, dia tak pernah tertarik padaku. Juga pada wanita manapun kecuali pada wanita Australia yang namanya terukir di cincin kawin yang menghiasi jari manis kanannya.
“Kamu bisa menjelaskannya pada Pak Domar,” jawab Eris dingin, dengan bibir tipis yang terkatup rapat. Apa aku sudah bilang dia ini agak sadis? Nenek moyangnya adalah para pembantai tujuh jenderal dalam peristiwa G30S/PKI. Aku yakin sekali, meski Eris tak pernah menceritakannya. Dia menyimpan rahasia itu seumur hidupnya.
Tapi rupanya Tuhan tidak bisa tidak membocorkan rahasianya padaku. Suatu hari saat aku sedang iseng melewati mejanya, aku melihat Eris sedang asyik menekuri sesuatu yang tampaknya seperti benda-benda purbakala. Penasaran, aku mengintip sedikit ke balik sekat ruangannya, dan aku langsung bergidik demi melihat apa yang dikumpulkan Eris di atas mejanya. Sebuah silet yang telah berlumuran darah kering, saputangan berwarna kuning dengan bercak-bercak noda darah yang misterius, dan yang membuatku yakin dia penganut paham komunis dan tergila-gila pada aksi pembantaian PKI puluhan tahun lalu, adalah benda yang sedang dipegangnya. Poster ketujuh jenderal yang dibunuh PKI di tahun 1965, dengan kondisi mengenaskan karena gambar-gambar para jenderal yang sedang berdiri gagah di belakang Monumen Nasional itu telah disilet-silet pada bagian wajah dan...maaf...alat vitalnya.
Kalau bukan penggemar berat gerombolan PKI, Eris pasti sakit jiwa. Hanya itu penjelasan masuk akal untuk orang dengan koleksi barang antik paling aneh sedunia.
Waktuku tinggal lima menit lagi. Aku mendadak punya ide cemerlang dan langsung memutuskan untuk berorasi.
“Aku akan mencarinya, mungkin terselip di toilet, atau di salah satu meja kalian. Ya, bisa saja aku suatu kali pernah salah memberikan dokumen, dan tak seorangpun di antara kalian yang menegurku. Berarti ini bukan sepenuhnya keteledoranku saja. Kalian juga ikut andil dalam hilangnya dokumen itu! Bisakah kalian mencari di meja masing-masing? Kawan-kawan, ini adalah tanggung jawab kita bersama!”
Satu-persatu dari mereka membubarkan diri, tapi bukan untuk membantuku mencari dokumen di meja masing-masing, melainkan mereka mulai membenahi meja, mengemas tas, dan siap-siap pulang. Jam beker Mickey Mouse di mejaku menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Saatnya pulang. Baguslah kalau begitu, kuharap semua orang benar-benar harus pulang. Termasuk makhluk sadis bernama Eris.
Tapi Eris masih berdiri di depanku. Sementara aku duduk kelelahan sambil berharap ada yang menawari aku cappucino.
“Tadi kamu minta kami membantumu mencari dokumen?” Eris membungkuk, mencondongkan wajahnya dekat sekali dengan wajahku. Aku mundur, takut terbawa suasana dan tiba-tiba menciumnya.
“Jangan khawatir, Mia, saya akan membantumu. Kita bisa sama-sama mencari dokumen itu sambil bercanda bergosip-ria. Setelah itu, saya akan mengepang rambutmu, sambil saling berbagi cerita tentang masa SMA kita.” Eris makin mencondongkan tubuhnya. Aku juga makin mundur. Aku bisa mendengar derik pisau lipat di balik jasnya. Sebentar lagi dia akan menelanjangiku, menyilet-nyilet tubuhku, melumuri luka-lukaku dengan jeruk nipis, dan menjemurku di bawah terik matahari. Tak heran, dia kan keturunan pembunuh tujuh jenderal. Tapi syukurlah sekarang sudah mulai malam, dia harus menunggu hukuman menjemur itu sampai besok.
“Ma..maaf,” suaraku serak terbata-bata.     
“Tidak usah repot meminta maaf, kamu dipecat.”
“Apa?” Aku segera bangkit berdiri, membelalak. “Kenapa Bapak pikir Bapak berhak memecat aku?”
“Karena saya rekanan Pak Domar, dia sudah pasti akan memecatmu. Sebelum dia memecatmu, saya terlebih dahulu mempermudah tugasnya. Paham?”
Tidak. Tidak mungkin. Aku bahkan belum dua bulan bekerja disini. Nah, ini bisa jadi alasan mentahnya proses pemecatanku!
“Bapak tidak bisa memecatku, karena aku belum bisa dipecat sebelum masa percobaan tiga bulan habis!” seruku merasa di atas angin.
“Kalau begitu masih ada waktu satu setengah bulan lagi. Dalam masa selama itu, saya tak bisa menjamin berapa dokumen yang akan selamat, atau berapa klien yang akan kabur. Mia, saya tidak bisa mencelakakan biro hukum ini, hanya untuk mempertahankanmu. Ini kecerobohanmu yang ke sembilan, dalam masa satu setengah bulan kamu bekerja.”
Oh, tidak… Aku mulai merasa sayatan di sekujur kulitku, oleh silet Gerwani, warisan leluhur Eris. Sebentar lagi, sesi penuangan jeruk nipis akan dimulai…
“Mia…! Ke ruangan zaya! Zekarang!”
Aku dan Eris sama-sama menoleh pada sumber suara menggelegar itu. Domar Simatupang, yang perut buncitnya hampir tak bisa melewati pintu ruangannya sendiri, menggerakkan jari sebagai isyarat memintaku masuk.
Perutku mendadak mual. Hari apa ini? Kenapa aku begini sial?
Bahkan Putri Mia yang sembrono dari kerajaan Genovia saja tidak mengalami kejadian seperti yang aku alami. Dia sedang enak-enakan duduk di singgasana Genovia yang nyaman sambil menikmati buah pir. Sedangkan aku, melangkah gontai dengan gerakan slow motion, menimbulkan suara detak-detak stiletto yang menegangkan, menuju ruangan boss, yang siap memecatku. Sementara di belakangku Eris mengawasi dengan tatapan haus darah, menunggu isyarat Domar. Sekali Domar mengangguk ke arahnya, dia akan melayangkan bumerang pada kepalaku dengan gerakan barbar ala aborigin, yang dipelajarinya dengan seksama  dari keluarga leluhur istrinya.

 BERSAMBUNG..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar