by Nimas Aksan on Saturday, August 20, 2011 at
9:11am
Namaku Mia. Mia Aminatiara. Nama yang aneh, seperti berasal dari sebuah desa
yang letaknya bahkan tak terdeteksi oleh google-earth. Kalau aku boleh
protes, aku ingin namaku diciptakan dengan gaya seni yang lebih komersil.
Misalnya, Mia Marshanda Ratu Felisha. Walau terdengar seperti gabungan nama
para pemain sinetron, tapi aku jamin, nama itu jauh lebih komersil.
Umurku duapuluh delapan tahun, sebuah usia yang sangat
kritis dimana aku harus selalu siap sedia dibantai pertanyaan yang sama oleh
segenap sanak keluarga di setiap moment perkumpulan keluarga besar. Kapan
married? Mana calonnya?
Mereka tentu tidak tahu, aku orangnya sangat selektif. Tidak
semua pria bisa dinyatakan pantas menjadi calon pendampingku. Dengan mudahnya
aku bisa saja menemukan seseorang yang begitu tampan, macho, berkarir gemilang,
yang kurasa cocok untukku, lalu setelah aku tau dia ternyata...emm, manusia
serigala misalnya, aku tak akan segan-segan menendangnya ke dalam kotak tempat
sembilan pria lainnya juga kubuang dalam enam tahun terakhir.
Jangan salah, bukan aku yang pilih-pilih, mereka sendiri
yang tak pantas dipertahankan. Kenyataannya, aku terus menjomblo, dan selalu
bosan dengan pertanyaan yang sama. Kapan married? Mana calonnya?
Sebagai seorang sarjana lulusan sekolah hukum, aku kini
bekerja di sebuah biro hukum milik pengacara besar asal Medan bernama Domar
Simatupang, SH. Pengacara yang terbiasa menangani kasus perceraian dan
pembagian harta gono-gini para selebritis dan pejabat terkenal. Tentu saja, aku
adalah salah satu rekanan disini, bukan sekedar asisten pembuat kopi, yang
tugasnya menyimpan dan mengantarkan dokumen-dokumen berharga milik klien-klien
penting. Yang kadang-kadang para dokumen kurang kerjaan itu bisa saja hilang
karena kecerobohan si asisten.
“Mia…! Kalau dalam zepuluh menit lagi dokumen itu belum kau
temukan, zaya tak zegan-zegan memecatmu!” teriakan Domar Simatupang, SH dari
balik ruangannya, dengan logat bataknya yang kental, memecahkan keheningan
kantor yang semula begitu sakral.
Mia? Kenapa dia menyebut nama Mia? Jangan-jangan asistennya
yang menghilangkan dokumen itu juga bernama Mia. Pasaran banget sih! Aku harus
cepat-cepat ganti nama.....
“Mia! Ngapain bengong di situ? Cepat kamu cari!” Tina,
finance officer, satu-satunya yang bisa bersuara setelah teriakan Domar,
menjentikkan kuku-kuku berwarna merah menyalanya di belakang punggungku.
Oh Tuhan, Kau pasti bercanda! Kenapa aku ada disini?
Aku baru menyadari, saat ini aku ada dalam posisi seperti
sedang bermain kuda-kudaan, dengan kepala dan sebagian tubuh terbenam di bawah
meja, sedang mengacak-acak dus-dus berisi sampah-sampah kertas yang terletak di
kolong meja.
Menjijikkan…Ini pasti bukan aku! Bukan aku yang
sebenarnya!
Aku segera menarik tubuhku keluar. Rambut ikalku
awut-awutan, sebagian sampah gulungan kertas menempel di rambutku seperti
magnit menempel pada kulkas.
Di depanku, berjajar para staf, rekanan, dan Tina si
pengatur keuangan. Mereka menatapku seolah aku ini baru saja terkena virus
alien yang kudapat dalam perjalanan singkat ke ruang angkasa.
“Nggak ketemu…” gumamku pasrah, ditujukan pada Eris, rekanan
Domar yang terkenal sadis, meski lelaki itu tak kupungkiri memiliki kharisma
luar biasa. Percuma, dia tak pernah tertarik padaku. Juga pada wanita manapun
kecuali pada wanita Australia yang namanya terukir di cincin kawin yang
menghiasi jari manis kanannya.
“Kamu bisa menjelaskannya pada Pak Domar,” jawab Eris
dingin, dengan bibir tipis yang terkatup rapat. Apa aku sudah bilang dia ini
agak sadis? Nenek moyangnya adalah para pembantai tujuh jenderal dalam
peristiwa G30S/PKI. Aku yakin sekali, meski Eris tak pernah menceritakannya.
Dia menyimpan rahasia itu seumur hidupnya.
Tapi rupanya Tuhan tidak bisa tidak membocorkan rahasianya
padaku. Suatu hari saat aku sedang iseng melewati mejanya, aku melihat Eris
sedang asyik menekuri sesuatu yang tampaknya seperti benda-benda purbakala.
Penasaran, aku mengintip sedikit ke balik sekat ruangannya, dan aku langsung
bergidik demi melihat apa yang dikumpulkan Eris di atas mejanya. Sebuah silet
yang telah berlumuran darah kering, saputangan berwarna kuning dengan bercak-bercak
noda darah yang misterius, dan yang membuatku yakin dia penganut paham komunis
dan tergila-gila pada aksi pembantaian PKI puluhan tahun lalu, adalah benda
yang sedang dipegangnya. Poster ketujuh jenderal yang dibunuh PKI di tahun
1965, dengan kondisi mengenaskan karena gambar-gambar para jenderal yang sedang
berdiri gagah di belakang Monumen Nasional itu telah disilet-silet pada bagian
wajah dan...maaf...alat vitalnya.
Kalau bukan penggemar berat gerombolan PKI, Eris pasti sakit
jiwa. Hanya itu penjelasan masuk akal untuk orang dengan koleksi barang antik
paling aneh sedunia.
Waktuku tinggal lima menit lagi. Aku mendadak punya ide
cemerlang dan langsung memutuskan untuk berorasi.
“Aku akan mencarinya, mungkin terselip di toilet, atau di
salah satu meja kalian. Ya, bisa saja aku suatu kali pernah salah memberikan
dokumen, dan tak seorangpun di antara kalian yang menegurku. Berarti ini bukan
sepenuhnya keteledoranku saja. Kalian juga ikut andil dalam hilangnya dokumen itu!
Bisakah kalian mencari di meja masing-masing? Kawan-kawan, ini adalah tanggung
jawab kita bersama!”
Satu-persatu dari mereka membubarkan diri, tapi bukan untuk
membantuku mencari dokumen di meja masing-masing, melainkan mereka mulai
membenahi meja, mengemas tas, dan siap-siap pulang. Jam beker Mickey Mouse di
mejaku menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Saatnya pulang. Baguslah kalau
begitu, kuharap semua orang benar-benar harus pulang. Termasuk makhluk sadis
bernama Eris.
Tapi Eris masih berdiri di depanku. Sementara aku duduk
kelelahan sambil berharap ada yang menawari aku cappucino.
“Tadi kamu minta kami membantumu mencari dokumen?” Eris
membungkuk, mencondongkan wajahnya dekat sekali dengan wajahku. Aku mundur, takut
terbawa suasana dan tiba-tiba menciumnya.
“Jangan khawatir, Mia, saya akan membantumu. Kita bisa
sama-sama mencari dokumen itu sambil bercanda bergosip-ria. Setelah itu, saya
akan mengepang rambutmu, sambil saling berbagi cerita tentang masa SMA kita.”
Eris makin mencondongkan tubuhnya. Aku juga makin mundur. Aku bisa mendengar
derik pisau lipat di balik jasnya. Sebentar lagi dia akan menelanjangiku,
menyilet-nyilet tubuhku, melumuri luka-lukaku dengan jeruk nipis, dan
menjemurku di bawah terik matahari. Tak heran, dia kan keturunan pembunuh tujuh
jenderal. Tapi syukurlah sekarang sudah mulai malam, dia harus menunggu hukuman
menjemur itu sampai besok.
“Ma..maaf,” suaraku serak
terbata-bata.
“Tidak usah repot meminta maaf, kamu dipecat.”
“Apa?” Aku segera bangkit berdiri, membelalak. “Kenapa Bapak
pikir Bapak berhak memecat aku?”
“Karena saya rekanan Pak Domar, dia sudah pasti akan
memecatmu. Sebelum dia memecatmu, saya terlebih dahulu mempermudah tugasnya.
Paham?”
Tidak. Tidak mungkin. Aku bahkan belum dua bulan bekerja
disini. Nah, ini bisa jadi alasan mentahnya proses pemecatanku!
“Bapak tidak bisa memecatku, karena aku belum bisa dipecat
sebelum masa percobaan tiga bulan habis!” seruku merasa di atas angin.
“Kalau begitu masih ada waktu satu setengah bulan lagi.
Dalam masa selama itu, saya tak bisa menjamin berapa dokumen yang akan selamat,
atau berapa klien yang akan kabur. Mia, saya tidak bisa mencelakakan biro hukum
ini, hanya untuk mempertahankanmu. Ini kecerobohanmu yang ke sembilan, dalam
masa satu setengah bulan kamu bekerja.”
Oh, tidak… Aku mulai merasa sayatan di sekujur kulitku, oleh
silet Gerwani, warisan leluhur Eris. Sebentar lagi, sesi penuangan jeruk nipis
akan dimulai…
“Mia…! Ke ruangan zaya! Zekarang!”
Aku dan Eris sama-sama menoleh pada sumber suara menggelegar
itu. Domar Simatupang, yang perut buncitnya hampir tak bisa melewati pintu
ruangannya sendiri, menggerakkan jari sebagai isyarat memintaku masuk.
Perutku mendadak mual. Hari apa ini? Kenapa aku begini sial?
Bahkan Putri Mia yang sembrono dari kerajaan Genovia saja
tidak mengalami kejadian seperti yang aku alami. Dia sedang enak-enakan duduk
di singgasana Genovia yang nyaman sambil menikmati buah pir. Sedangkan aku,
melangkah gontai dengan gerakan slow motion, menimbulkan suara detak-detak
stiletto yang menegangkan, menuju ruangan boss, yang siap memecatku. Sementara
di belakangku Eris mengawasi dengan tatapan haus darah, menunggu isyarat Domar.
Sekali Domar mengangguk ke arahnya, dia akan melayangkan bumerang pada kepalaku
dengan gerakan barbar ala aborigin, yang dipelajarinya dengan seksama
dari keluarga leluhur istrinya.
BERSAMBUNG..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar